Sabtu, 18 Februari 2012

MEKAH,KA'BAH,QURAISY bag:3

Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah
dan  kemudian  diteruskan  oleh  anak-anaknya.   Akan   tetapi
anak-anak  Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih
baik dan  terpandang  juga  di  kalangan  masyarakatnya.  Oleh
karena  itu,  anak-anak  Abd  Manaf,  yaitu Hasyim, Abd Syams,
Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan  yang  ada
di  tangan  sepupu-sepupu  mereka  itu.  Tetapi  pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain
membela golongan yang lain lagi.

Keluarga  Abd  Manaf  mengadakan  Perjanjian Mutayyabun dengan
memasukkan  tangan  mereka  ke   dalam   tib,   (yaitu   bahan
wangi-wangian)  yang  dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar
mengadakan  pula  Perjanjian  Ahlaf: Antara kedua golongan itu
hampir saja pecah perang yang akan memusnakan  Quraisy,  kalau
tidak  cepat-cepat  diadakan  perdamaian.  Keluarga  Abd Manaf
diberi bagian mengurus persoalan air  dan  makanan,  sedangkan
kunci,  panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar.
Kedua belah pihak  setuju,  dan  keadaan  itu  berjalan  tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.

Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan.
Dialah yang memegang urusan  air  dan  makanan.  Dia  mengajak
masyarakatnya  seperti  yang  dilakukan oleh Qushayy kakeknya,
yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk  memberi
makanan   kepada  pengunjung  pada  musim  ziarah.  Pengunjung
Baitullah, tamu  Tuhan  inilah  yang  paling  berhak  mendapat
penghormatan.  Kenyataannya  memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.

Peranan yang dipegang Hasyim  tidak  hanya  itu  saja,  bahkan
jasanya  sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus,
dia datang membawakan  persediaan  makanan,  sehingga  kembali
penduduk  itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim
jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim  dingin
dan  musim  panas.  Perjalanan  musim  dingin  ke  Yaman,  dan
perjalanan musim panas ke Suria.

Dengan  adanya  semua  kenyataan  ini   keadaan   Mekah   jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah,
sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan  serupa  itu  tidak  ragu-ragu lagi anak-anak Abd
Manaf      membuat      perjanjian      perdamaian      dengan
tetangga-tetangganya.   Hasyim   sendiri   membuat  perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat  dengan  Imperium  Rumawi
dan   dengan   penguasa   Ghassan.  Pihak  Rumawi  mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian  juga
Abd  Syams  membuat  pula  perjanjian  dagang  dengan  Najasyi
(Negus).  Selanjutnya  Naufal  dan   Muttalib   juga   membuat
persetujuan  dengan  Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah  makmur.  Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada
pihak lain yang  semasa  yang  dapat  menyainginya.  Rombongan
kafilah   datang  ke  tempat  itu  dari  segenap  penjuru  dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas.  Di  sekitar
tempat  itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan
itu. Itu  pula  sebabnya  mereka  jadi  cekatan  sekali  dalam
utang-piutang  dan  riba serta segala sesuatu yang berhubungan
dengan perdagangan.  Tak  ada  yang  teringat  akan  menyaingi
Hasyim   yang  kini  sudah  makin  lanjut  usianya  itu  dalam
kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian  terbayang
oleh  Umayya  anak  Abd  Syams  -sepupunya  - bahwa sudah tiba
masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak  berdaya,  dan
kedudukan  itu  tetap  dipegang  Hasyim.  Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun  tinggal  di
Suria.

Pada  suatu  ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika
Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan
terpandang,   muncul   di   tengah-tengah  orang  yang  sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
'Amr   dari   kabilah   Khazraj.   Hasyim   merasa   tertarik.
Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan  laki-laki
lain?  Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri,  Hasyim
lalu  melamarnya.  Dan  wanita  itupun  menerima,  karena  dia
mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di  Mekah  dengan  suaminya.
Kemudian  ia  kembali  ke  Jathrib.  Di kota ini ia melahirkan
seorang anak yang diberi nama Syaiba.

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas  ke
Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan
oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd
Syams.  Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh  Quraisy  ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib
yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah  tentu
segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan  karena  anak  itu  sudah
besar,  dimintanya  kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas  untanya
dan  dengan  begitu  ia  memasuki  Mekah.  Orang-orang Quraisy
menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka
lalu  memanggilnya:  Abd'l  Muttalib  (Budak Muttalib). "Hai,"
kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang  kubawa  dari
Jathrib."   Tetapi  sebutan  itu  sudah  melekat  pada  pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian  dan  nama  Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada  mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim
untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu  menguasainya.
Sesudah  Abd'l-Muttalib  mempunyai kekuatan ia meminta bantuan
kepada saudara-saudara ibunya  di  Jathrib  terhadap  tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk  memberikan  bantuan  itu  pihak  Khazraj  di
Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan
demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

Sekarang  Abd'l-Muttalib  sudah  menempati  kedudukan  Hasyim.
Sesudah  pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air
dan  persediaan  makanan.  Dalam  mengurus  dua  jabatan   ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit.
Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan  air  untuk  tamu  - sejak terserapnya sumur Zamzam
didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar  sekitar
Mekah,  yang  kemudian  diletakkan  di  sebuah  kolam di dekat
Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar  dan
memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus.
Sebaliknya,  kalau  Abd'l-Muttalib   harus   memikul   jabatan
penyediaan   air   dan   makanan   sedang  anak  hanya  Harith
satu-satunya, tentu hal ini  akan  terasa  berat  sekali.  Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.

Orang-orang  Arab  masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang
telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu.
Menjadi  harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap
ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib  pun  tentu
lebih   banyak  lagi  memikirkan  dam  mengharapkan  hal  itu.
Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam  tidurnya
seolah  ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang
pernah menyembur di kaki Ismail neneknya  dulu  itu.  Demikian
mendesaknya  suara  itu  dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam
tersebut,  sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya,  Harith.
Waktu  itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas
dan pedang Mudzadz mulai  tampak.  Sementara  itu  orang-orang
lalu  mau  mencampuri  Abd'l-Muttalib  dalam  urusan sumur itu
serta   apa   yang   terdapat   di   dalamnya.   Akan   tetapi
Abd'l-Muttalib berkata:

"Tidak!  Tetapi  marilah kita mengadakan pembagian, antara aku
dengan kamu sekalian.  Kita  mengadu  nasib  dengan  permainan
qid-h  (anak  panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu  keluar,  ia  mendapat
bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul  ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada
juru qid-h  yang  biasa  melakukan  itu  di  tempat  Hubal  di
tengah-tengah   Ka'bah.  Anak  panah  Quraisy  ternyata  tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua
buah  pangkal  pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh
Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang  kedua  pelana
emas  dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib
meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah
sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena  tidak  banyak  anak,  Abd'l-Muttalib  di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga  yang  akan
dapat  membantunya.  Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak
lagi  seperti  ketika  ia  menggali  sumur  Zamzam dulu, salah
seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai  kurban
untuk  Tuhan.  Tepat  juga  anaknya  yang  laki-laki  akhirnya
mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan  pula  sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya  semua  anak-anaknya  dengan  maksud supaya dapat
memenuhi   nadarnya.   Semua   patuh.   Sebagai    konsekwensi
kepatuhannya  itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing
di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh
Abd'l-Muttalib  dan  dibawanya  kepada  juru  qid-h  di tempat
berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Apabila  sedang   menghadapi   kebingungan   yang   luarbiasa,
orang-orang  Arab  masa  itu lalu minta pertolongan juru qid-h
supaya memintakan kepada Maha Dewa  Patung  itu  dengan  jalan
(mengadu  nasib)  melalui  qid-h.  Abdullah bin Abd'l-Muttalib
adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah  yang  sudah  dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal
untuk kemudian disembelih oleh sang  ayah,  maka  yang  keluar
adalah   nama   Abdullah.   Dituntunnya  anak  muda  itu  oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk  disembelih  ditempat  yang
biasa  orang-orang  Arab  melakukan  itu  di dekat Zamzam yang
terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Tetapi saat itu  juga  orang-orang  Quraisy  serentak  sepakat
melarangnya  supaya  jangan  berbuat,  dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada  Hubal.  Sekalipun  mereka  begitu
mendesak,   namun   Abd'l-Muttalib   masih   ragu-ragu   juga.
Ditanyakannya kepada mereka apa yang  harus  diperbuat  supaya
sang  berhala  itu  berkenan.  Mughira  bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya  dapat  dilakukan  dengan
harta kita, kita tebuslah."

Setelah  antara  mereka  diadakan  perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang  sudah  biasa
memberikan  pendapat  dalam  hal  semacam ini. Dalam pertemuan
mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya
menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah   ke   negeri  kamu  sekalian,"  kata  dukun  itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya  itu
diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata  anak  panah  itu
keluar  atas  nama  Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu
sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak  panah
keluar  atas  nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib  -  yang  sedang  berdoa  kepada
tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak,"  kata  Abd'l-Muttalib.  "Harus  kulakukan sampai tiga
kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap
keluar  atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa
puas setelah ternyata sang dewa berkenan.  Disembelihnya  unta
itu   dan  dibiarkannya  begitu  tanpa  dijamah  manusia  atau
binatang.

Dengan   begitu   itulah   buku-buku   biografi    melukiskan.
Digambarkannya   beberapa   macam  adat-istiadat  orang  Arab,
kepercayaan   serta   cara-cara   mereka   melakukan   upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya
kedudukan Mekah dengan  Rumah  Sucinya  itu  di  tengah-tengah
tanah  Arab.  At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa  bila  maksudnya  terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia
akan  menyembelih   anaknya.   Ternyata   kemudian   maksudnya
terkabul.  Ia  pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak
memberikan pendapat. Kemudian ia  pergi  kepada  Abdullah  bin
Abbas  yang  ternyata  memberikan  fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya  dengan  penebusan  Abdullah
anak  Abd'l-Muttalib.  Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika
itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal  itu.  "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.

Kedudukan  Mekah  dengan  status Rumah Sucinya itu menyebabkan
beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga  membuat  rumah-rumah
ibadat  sendiri-sendiri,  dengan  maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah  Sucinya.  Di  Hira  pihak  Ghassan
mendirikan  rumah  suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci
di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu  tak  dapat  menggantikan
Rumah  Suci  yang  di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka
dari  Kota  Suci  itu.  Bahkan  sampai  demikian  rupa  Abraha
menghiasi   rumah   sucinya  yang  di  Yaman,  dengan  membawa
perlengkapan yang paling mewah  yang  kira-kira  akan  menarik
orang-orang  Arab  -  bahkan  orang-orang  Mekah  sendiri - ke
tempat itu.

Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu
hanya  Rumah  Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun
meninggalkan  rumah  yang  dibangunnya  itu  serta  menganggap
ziarah  mereka  tidak  sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang
tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu  kecuali  ia  harus
menghancurkan  rumah  Ibrahim  dan  Ismail itu. Dengan pasukan
yang besar didatangkan dari Abisinia dia  sudah  mempersiapkan
perang  dan  dia  sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.

Tatkala  pihak  Arab   mendengar   hal   itu,   besar   sekali
kekuatirannya  akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal  yang  luarbiasa  bagi  mereka,  kedatangan  seorang
laki-laki  Abisinia  akan  menghancurkan rumah suci mereka dan
tempat  berhala-berhala  mereka.  Seorang  laki-laki   bernama
Dhu-Nafar  - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke  depan  mengerahkan  masyarakatnya  dan  orang  Arab
lainnya  yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya
yang hendak menghancurkan  Baitullah.  Tetapi  dia  tak  dapat
menghalangi  Abraha.  Malah  dia  sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail  bin
Habib  al-Khath'ami  ketika  ia mengerahkan masyarakatnya dari
kabilah Syahran dan Nahis, malah dia  sendiri  yang  tertawan,
yang  kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk
jalan. Ketika Abraha  sampai  di  Ta'if  penduduk  tempat  itu
mengatakan,  bahwa  rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia  diantar
oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

Bila  Abraha  sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda
sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat  membawa  harta  benda
Quraisy  dan  yang  lain-lain,  di antaranya seratus ekor unta
kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya  orang-orang
Quraisy   bermaksud   mengadakan   perlawanan.  Tapi  kemudian
berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara  itu  Abraha
sudah  mengirimkan  salah  seorang  pengikutnya sebagai utusan
bernama Hunata dan Himyar untuk  menemui  pemimpin  Mekah.  Ia
diantar  menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan  Abraha,  bahwa  kedatangannya  bukan  akan
berperang  melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak  bermaksud
berperang,  ia  pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata,
bersama  anak-anaknya  dan  beberapa  pemuka  Mekah   lainnya.
Kedatangan  delegasi  Abd'l-Muttalib  ini  disambut  baik oleh
Abraha,   dengan   menjanjikan   akan    mengembalikan    unta
Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah
serta   supaya   menarik   kembali   maksudnya   yang   hendak
menghancurkan  tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran
delegasi Mekah  yang  akan  mengalah  sampai  sepertiga  harta
Tihama  baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali
ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu
dan  pergi  ke  lereng-lereng  bukit,  menghindari  Abraha dan
pasukannya yang akan  memasuki  kota  suci  dan  menghancurkan
Rumah Purba itu.
                                    (bersambung ke bagian 4/4)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar