Senin, 16 April 2012

Tentang Iman: Sebuah Risalah Reduktif


MENGAPA saya beriman atau dengan kata lain mengapa saya harus beriman? Jawaban itu sangatlah mudah dan sekaligus begitu menjadi pertanyaan susah. Alat ukur untuk menilai seseorang beriman atau tidak, tidak dapat diciptakan. Namun, untuk orang-orang tertentu yang merasa dirinya beriman dapat dilihat dalam sebuah tindakan bagaimana dia menilai dirinya.
Mengapa saya beriman? Wujud tindakan seseorang memperbaki dirinya dihadapan Tuhan dan itu dibuktikan dengan laku orang itu dengan mahluk selain Tuhan. Semakin orang menjadi baik, atau dalam kehidupannya terlihat suatu kemajuan sikap perbaikan diri itu juga merupakan suatu bentuk evolusi keberimanan. Dalam hal ini evolusi jiwa menjadi hal mutlak karena pada dasarnya keberimanan seseorang ada dalam wujud batin dan jiwa yang selalu mendapat bisikan Tuhan.
Mengapa saya beriman? Mempercayai sesuatu yang terkadang tidak bisa kita pecahkan dengan rasio, itu menuntut mempercayai sesuatu diluar diri, walaupun itu Nampak absurd. Tapi pada saat yang sama, hal semacam itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Yang (kalau boleh mengutip perkataan Albert Camus) harus kita lawan keabsurdan itu dengan cara memberontak.
Mengapa saya beriman? Pertanyaan itu sudah menjadi bagian yang mungkin hilang dalam diri setiap orang! Keberimanan kita hari ini bukanlah keberimanan terhadap sesuatu yang Absolut, tapi keberimanan tanpa Tuhan. Karena kita terlanjur percaya kepada petuah-petuah para pembunuh Tuhan. Seperti kata Haji Hasan Mustofa dalamSasaka di Kaislaman, tentang iman perbawaning ti kenca, “Da aing mah rajeun soteh milampah,bawaning ngandel ka beja báe, supaya kanyahoan ku nu nga­bejakeun”. Disini dapat dilihat bahwa keberimanan itu adalah sesuatu yang terberi, bukan sesuatu yang dicari.
Mengapa saya beriman? Pertanyaan ini haruslah setiap hari kita pikirkan, agar setiap jiwa mampu merekontruksi diri terhadap apa yang diyakininya. Keberimanan menjadi sesuatu yang tidak begitu jelas, karena keberimanan kita dilingkupi ketidakjelasan, ketika dihadapkan dengan hal-hal yang nampak jelas disekitar kita. Ketidakjelasan itu berawal dari ketidakjelasan kita beriman terhadap siapa!
Beriman tanpa Tuhan menjadi hal niscaya, karena tujuan orang beriman bukan lagi mereguk saripati pengetahuan Tuhan, tetapi berupa fasion kehidupan. Sehingga banyak orang berebut hal-hal bersifat sementara, dan pada saat itu kita beriman kepada hal-hal yang temporer—jijik.
Beriman tanpa Tuhan menjadi hal unik yang kita lakukan setiap hari. Keberimanan adalah rasa untuk menghayati sesuatu dengan sadar atau tanpa sadar kita sedang menghayati dan menikmati sesuatu. Nah kalau seperti itu keadaannya, keberimanan macam apa yang sedang kita gunakan?
Mengapa saya beriman? Keberimanan menuntut seseorang untuk menjadi utama, seperti itu ucap Tomas Aquinas. Utama adalah hal yang menjadi dasar cita-cita ideal sesuatu. Platonpun—nabinya para filsuf—mengajarkan untuk hidup menjadi utama karena membawa kepada udomia atau kebahagiaan abadi. Beriman menjadi keniscayaan, jika kita terus memperbaiki diri, merekontruksi cara bersikap. Jika telah seperti itu, maka dengan hal apapun iman-proses menjadi bagian diri.
Mengapa kita beriman? Tink… Tenk… Tonk… tidak pernah selesai dijawab. Karena merumuskan keberiman menjadi aktifitas keseharian yang akan membuat kita menjadi lebih baik, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar